• Prolog
Megah......setidaknya seperti itu pendapat seluruh orang yang melihatnya. Bangunan besar berdinding bata merah terawat rapi bersih dan indah, berdiri di tengah-tengah tanah bukit seluas mata memandang. Dikelilingi pagar besi tinggi berornamen tombak bercat hitam, menambah garang dan segan orang yg hendak bertandang. Gerbang besi berukir lambang keluarga dan diapit gapura berukir dilengkapi pos penjaga, yang membuat semua orang pasti menerka bahwa penghuninya adalah orang terpandang dan kaya.
Tak sedikit
orang pasti yang berpendapat bahwa tinggal didalamnya pastilah bak hidup
sebagai raja.
Gedong merah megah itu adalah tempat tinggal keluarga terpandang dari clan Astana. Clan penguasa pulau, penguasa bisnis perkapalan ekspedisi antar pulau dan perkebunan. Clan yang cukup disegani di pulau Kalamari ini.
Disalahsatu
pojok bangunan kekar Gedong megah itu adalah tempat tinggalku.
Semua memandang aku anak yang tak bersyukur sewaktu aku ditanya gimana rasanya hidup bagaikan seorang putri raja, saya menjawabnya dengan mengacungkan ibujari dan membaiknya menghadap kebawah.
Pendapat
mereka yang memandang aku tak bersyukur itu tidaklah salah, buat penghuni yang
memang diinginkan, mungkin itu benar. Tapi buat penghuni yang tak diinginkan,
pastilah seperti hidup dalam neraka.
*19 tahun yang
lalu.
Pengumuman itu sudah tersebar kepelosok pulau, barang siapa yang menemukan anak laki-laki tunggal dari Baginda Tuan, dari clan Astana, maka akan diberikan imbalan yang menggiurkan.
Apabila yang
menemukannya adalah laki-laki ataupun perempuan tua maka akan dianggap saudara,
dan apabila yang menemukannya laki-laki muda akan diangkat sebagai anak
angkatnya dan apabila yang menemukannya adalah perempuan muda maka akan
dijadikan menantunya.
Anak laki-laki satu-satunya dari Baginda Tuan yang bernama Kolungga hilang, sewaktu badai menghantam kapalnya yang mengangkut kayu dari negeri seberang.
Selama
berbulan-bulan tak ada juga yang membawa kabar baik buat Baginda Tuan. Baginda
Tuan sangat resah, kedua saudari Kolungga yang bernama Dewi Ambi dan Dewi
ambika bingung dengan kondisi kesehatan ayahnya, Baginda Tuan yang semakin hari
semakin menurun.
Dewi Ambika menghibur ayahnya Baginda Tuan dengan membawa ke-3 putri nya yang masih kecil-kecil untuk tinggal dan menetap di Gedong Merah nan megah meninggalkan suaminya yang hanya seorang tentara yang berjaga diperbatasan pulau.
Sedangkan,
Dewi Ambi adalah perawan tua yang tidak menikah.
5 bulan sudah
lewat, Kolungga belum juga ditemukan, Baginda Tuan nyaris putus asa, maka
dikeluarkanlah pengumuman itu.
Tak berapa
lama kehadiran ke-3 cucu putri nya membawa keceriaan sendiri buat Baginda Tuan
menjadi pelipur kesedihannya.
Di bulan ke 6,
kegembiraan menyelimuti Gedong Merah karena Anak laki-laki satu-satunya dari
Baginda Tuan, si Kolungga pulang diantar oleh seorang wanita muda berkulit
gelap.
Baginda Tuan
senang bukan kepalang, dipeluk eratnya Kolungga, yang menghilang selama 6 bulan
dan sekarang kembali pulang.
Badai
menghancurkan kapalnya dan Kolungga terdampar di Pulau Legam yang mayoritas
penduduknya adalah nelayan dan berwarna kulit gelap. Kolungga ditolong dan
dirawat sampai sembuh dari luka-luka nya oleh Maris, gadis pencari kerang di
desa nelayan Pulau Legam. Nasi sudah menjadi bubur, ucapan sudah keluar dari
mulut Baginda Tuan, dalam pencarian anaknya
Kolungga, maka suka tidak suka, mau tidak mau Baginda Tuan menerima Maris sebagai menantu nya, Baginda Tuan jugalah yang menikahkan Kolungga dengan Maris.
Kolungga dan
Maris dikaruniai 2 orang anak, Akelis anak laki-laki dan Aramis anak perempuan.
Mereka hidup damai dirumah kecil tepi pantai yang cukup jauh jaraknya dari
Gedong Merah nan megah di atas bukit.
• 10 tahun yang lalu
Ketika usiaku masih 2 tahun dan kakakku Akelis berusia 6 tahun, kami dibawa pindah ke Gedong Merah nan megah di atas bukit, sebab sebagai pewaris, ayahku tidaklah boleh jauh dari keluarga dan bisnisnya.
Kami menempati
paviliun sayap kiri dari Gedong Merah, bukan di Gedong utama tempat Baginda Opa
dan Baginda Oma tinggal beserta uwak Dewi Ambi dan uwak Dewi Ambika beserta
ke-3 sepupuku.
Karena sebagai
mantu ibuku bukanlah dari keluarga yang terpandang hanya rakyat biasa dari
negeri asing.Tak punya kasta dan harta dan terbiasa hidup sederhana.
Sebagai pewaris, Kolungga haruslah mengurus bisnis yang akan diwariskan padanya. Urusan bisnis perkapalan yang mulai mengakar ke pulau-pulau lainnya mengharuskan ayahku jarang ada di rumah.
Dalam setahun
ayahku pulang 2 kali saja, pada saat hari ulangtahun Baginda Opa (Baginda Tuan)
dan ulangtahun Baginda Oma.
Hidup kami tak
lagi sama. Dan, disinilah kisahku dimulai.
• Masa kini.
Jarak sekolah yang kalau ditempuh dengan mobil hanya memakan waktu 15 menit, tapi untukku bisa memakan waktu 40 menit bahkan 1 jam yang hanya menggunakan sepeda mini tua, yang masih lengkap dengan keranjang didepannya. Keranjang itu tempatku menaruh tas dan tempat ku menaruh segala yang kupungut sepanjang perjalanan pergi dan pulang sekolah. Perjalanan dengan sepeda tua ini sangatlah kunikmati setiap harinya. Tidak ada rasa yang bisa menandinginya sementara ini.
Rasa angin
yang menerpa muka. Rasa angin yang meniup rambut pendekku. Bau rumput , bau
bunga, suara air yang mengalir di parit di tepian jalan mengiringiku sepanjang
waktu. Rasanya bebas. Rasanya lepas. Rasanya aku jadi diriku sendiri hanya
dalam perjalanan pergi dan pulang sekolah yang selalu kunikmati.
Hari ini kutuntun sepedaku yang bannya kempis robek karena sesuatu. Pasti ada yang jahil lagi dengan sepedaku.
Tapi hal ini
ku syukuri, dengan begini aku ada lebih banyak waktu diluar gedong merah itu.
Pelan-pelan kususuri jalan menuju Gedong Merah diujung bukit. Sore ini terasa
nyaman sekali. Suara kicauan burung, suara celoteh bercengkrama petani pemetik
sayuran sayup-sayup terdengar.
Senyum
meringis waktu kuingat, tatkala nanti begitu sampai gerbang pastinya tongkat
Baginda Opa sudah menunggu untuk dipukulkan kebetisku.
Tapi,
Ku tak peduli,
karena momen pergi dan pulang sekolah saja yang kupunya, tak akan ku biarkan
orang merampasnya. Tidak juga oleh Baginda Opa.
*4 tahun yang
lalu
"Aku gak ingin kamu pergi, kak. Bisakan kakak sekolah disini aja". Bujuk ku pada Akelis kakakku yang memutuskan menerima tawaran Baginda Opa untuk menuntut ilmu di benua Eropa.
"Cuma di
sana yang punya sekolah pelayaran dan bisnis perkapalan yang bagus. Jadi kakak
harus kesana.cuma 4 tahun kok, gak lama.kamu main sepeda berkeliling perkebunan
beberapa kali pasti kakak sudah kembali.percaya deh." Jelas Akelis sambil
mengelus kepala ku. Aku hanya terisak-isak menunduk gak mau kakakku melihat aku
menangis.
Akelis berlutut didepan ku.
"Kakak janji tiap minggu pagi akan menelpon Ara ke rumah utama (Gedong Merah). Ara harus ada di rumah utama, Minggu paginya ya, jangan peduli omongan uwak dan sepupu kita disana. Kalau Ara gak kerumah utama bagaimana Ara bisa bicara sama kakak?. Dan ingat, Jangan juga sembunyi dari Baginda Opa. belajarlah berani tapi tetap harus sopan sama orang yang lebih tua ya. Mintalah ijin untuk ikut bicara sama kakak kalau kakak telpon ya. Ara janji sama kakak ya." Pinta Akelis. Aku hanya mengangguk-angguk setuju sambil memeluk erat kakakku.penuh ingus dan air mata dipundaknya tapi aku tak peduli. tak ingin kulepaskan kakakku dari pelukan ku.
Kurasakan
tangan kurus mama mengambil alih pelukanku.kupeluk erat mama dan menangis di
dadanya.
" Jangan
biarkan Akelis pergi ma, siapa yang akan jaga kita.papa sudah lama tak pulang.
Sekarang kak Akelis mau pergi." Kumohon pada mama sambil menangis.
"Kan ada
mama yang selalu jaga aramis.tenang saja gak akan ada yang berani melukai
Aramis selama mama masih ada.mama janji ". Peluk mama.dan kurasakan juga
pelukan Akelis dari belakang.kami bertiga saling peluk.
" Begitu
Akelis nanti bisa bekerja di negeri Eropa, Akelis akan kembali dan membawa
Aramis dan mama ikut Akelis. Kita tinggalkan pulau Kalamari ini.kita cari
kehidupan kita sendiri.Akelis janji ma". Bisik kakak di telinga kami dalam
berpelukan.
" Sampai
waktu itu tiba,mama dan Ara janji ya, untuk kuat dan tambah.jangan
menyerah." Pinta Akelis pada kami.kamipun mengangguk-angguk kepala tanda
setuju.
• 1 tahun yang lalu
Baginda Opa
dan Baginda Oma selalu menggapku tidak ada. aku dan mama buka sesuatu yang
penting tampaknya. Aku salah apa. Bingung sendiri dengan sikap mereka. Tapi
katanya mama biarkan saja. Tidak usah diambil perduli. Bingung dengan apa
maksudnya mama bicara juga.
Kadangkala.....Tanpa
ada alasan yang jelas aku sering kali dipukul pakai penjalin pemukul kasur oleh
uwak Ambika. Dimana uwak Ambi hanya diam menyaksikan.
Tentu saja uwak melakukan itu tanpa sepengetahuan mama. Belum lagi kata-kata hinaan yang diucapkan untuk ku dan Mama ku...yang terkadang aku sendiri tak mengerti apa artinya itu. Kerja tanpa henti dengan para pelayan lainnya.
Sepertinya
buat mereka itu belumlah cukup, masih ditambah lagi para sepupu yang kusuka
menjadikan aku sebagai eksperimen kegiatan salon kecantikan mereka. Sering kali
aku dijadikan kelinci percobaan salon potong rambutnya. Rambutku selalu jadi
korban kebodohan dan ketidaktrampilan mereka dengan gunting. Tertusuk gunting
sudah menjadi langganan. Mama sangatlah marah pastinya tapi tidak bisa berbuat
apa-apa.
Dan bukan lagi
rahasia yang harus ditutupi diantara pelayan kalau Baginda Opa dan Baginda Oma,
para uwak dan para sepupu memperlakukan aku dan mamaku bukanlah sebagai anggota
keluarga. Mereka hanya bisa diam.
Miris sekali ya.
Gedong Merah
sangatlah luas jadi mama dan para pelayan bahu membahu membersihkan dan
merawatnya. Mamaku diperlakukan selayaknya pelayan di Gedong Merah ini. Makan
pun kami harus didapur bersama pelayan yang lain. Kecuali hari dimana ada
papaku datang barulah kami makan di meja yang besar dengan Baginda Opa duduk
diujung meja.
Papa sebagai
ayah terlalu sering tidak bisa membantu kondisi kami disini. papa seperti nya
terlalu takut pada Baginda Opa.
Kami hanya bisa berdiri dibelakang kakak. Akelis cukup diterima oleh Baginda Opa. Mungkin karena statusnya yang cucu laki-laki satu-satunya. Sedangkan perlakuan kepadaku sangatlah berbeda.
Aku yang
berusia 12 tahun harus sibuk melayani sepupu-sepupuku yang berusia diatas 19
tahun. Timpang rasanya.
Tahun-tahun
pertama seperti neraka tanpa kehadiran papa dan sekarang ditambah tanpa
pembelaan kakak.
Pernah ku bertanya pada mama, " Mama kenapa tak pergi saja dari sini?"
"Mama gak akan tinggalkan kalian ditangan orang yang tidak menyayangi kalian.lagipula mama mau kemana? Setelah menikah dengan papamu, mama dibuang oleh suku mama sendiri. Dianggap keluar dari suku karena menikah dengan suku lain. Yang mama punya cuma kalian. Dimana ada kalian disitu surga mama." Jawab mama sambil membelai rambutku yang pendek. Lambat laun aku dan mama jadi terbiasa.beradaptasi kalau mau survive.mengikuti maunya yang punya gedong merah.
Hari itu, di
musim penghujan, tanpa sebab yang jelas mamaku ditemukan tak sadarkan diri di
teras Gedong Merah. Kepala nya terluka cukup parah.dibutuhkan waktu 3 Minggu
untuk mama
bisa bangun
dari tempat tidur dan berdiri lagi.
Aku masih tak
mengerti bagaimana mama bisa jatuh dari atas tangga yang menuju teras. Mau
menuduh orang lain tapi buktinya tidak ada. Selama mama sakit aku yang
menggantikan tugas mama bahu membahu dengan pelayan di gedong merah itu.
Sampai kapan
situasi ini membelit kami???
*Sore itu
Hari ini juga sepertinya sepeda tuaku dijahili lagi. Bannya kempes lagi. Teman-teman di sekolah sepertinya tidak jauh berbeda memperlakukan ku seperti alien saja. Tapi mereka sepertinya sudah kehabisan ide menjahiliku. Aksinya hanya di ban kempes setiap harinya. Mungkin mereka mulai bosan akan reaksiku yang sudah tidak seperti dulu. Menangis....sekarang aku hanya menerima tanpa banyak tanya. Kalau kata orang berambut emas dari negeri Eropa bilang," I don't care anymore."
Lagi....Sore
ini aku harus menuntun sepedaku untuk pulang. Untungnya aku di gedong merah itu
masih ada Abah Aco, tukang kebun yang selalu tiap petang memperbaiki dan
menganti ban sepedaku, agar bisa kupergunakan lagi esok harinya.
Kutarik napas dalam-dalam dan kuhembuskan pelan-pelan. Rasanya cukup tenang. Walaupun jalanku sedikit pincang karena kaki masih sakit akibat pukul Baginda Opa kemarin sore. Cuaca sore ini cukup tenang dan berangin. Bau jemuran bunga Jepun yang dijemur di depan rumah-rumah warga. Semerbak sepanjang jalan.
Seperti biasa
mereka hanya melambaikan tangan saja. Sepertinya tidak berani mau banyak
membantu kondisiku, mungkin takut pada Baginda Opa yang memiliki hampir seluruh
tanah perkebunan disini, dimana para warga sini bekerja.
Diam.
Sepertinya
adalah jawaban untuk tidak mau terlibat dalam urusan orang lain agar tidak
membawa kesulitan buat mereka sendiri.
Terbiasa.
Itu pula yang
aku alami.menerima tanpa banyak protes atau tanpa banyak melawan, bahkan tanpa
banyak tanya lagi untuk menghindari masalah baru.
Tiba-tiba
mataku tertuju pada layang-layang yang tersangkut di atas pohon nangka. Kondisi
layang-layang itu masih baik tidaklah robek atau rusak. Sepertinya aku bisa
menjangkaunya dengan sedikit memanjat, pikirku. Lalu, kuputuskan memanjat pohon
nangka yang ada di tikungan jalan ini. Layang-layang yang tersangkut ituharus
bisa kuambil dari dahan yang nampak cukup kokoh kalau jadi pijakan kaki ku
nanti.
Kusandarkan sepeda ku di semak tanaman rambat.
Hap...kumulai
meraih cabang pohon nangka untuk mendapatkan layang-layang berbentuk kepala
panda itu. Lucu juga pikirku layang-layang itu, kalau kumainkan di belakang
paviliun sayap kiri dari Gedong Merah pastilah seru.
Hap..hap...
sedikit lagi pikir ku,kujulurkan tangan ku untuk meraih layang-layang berbentuk
kepala panda itu.sedikit lagi pikirku sambil kugeserkan kaki ku ke dahan itu.
Dapat. Tanganku meraih layang-layang itu. Tapi... rasanya tubuhku melayang....
lalu gelap.... Sepi....gelap.
Dari jauh sayup-sayup terdengar suara kendaraan datang. Suara pintu kendaraan dibuka dan dibanting.
Terdengar
suara-suara yang memanggil namaku,
"
Aramis... Aramis... ngapain Kamu di situ? Aramis.... Aramis...".
" Anak
gila, rupanya dia naik pohon dan jatuh, lihat kepalanya berlumuran darah. Ayo
kita angkat dia ke mobil?"
" Kamu
gila ya ,Sekar, biarkan aja dia disini nanti ada orang lain yang lewat yang
akan tolong dia. Biarkan dia disini,Jangan sampai kita bermasalah dengan Om
Kolungga dan Akelis. Ayo pergi ".
"Kalau
dia mati bagaimana, wangi?" "Siapa mau perduli!!"
"Dengar
kata harum, untuk apa kita perduli. Ayo Sekar kita tinggalkan tempat
ini.!!"
Suara pintu
mobil dibuka dan ditutup. Dan suara mesin mobil yang menyala dan menderu....
suaranya itu semakin menjauh.
• Masa kini
"Apa yang
terjadi sama Aramis sebenarnya ma? Dokter tadi kasih informasi , selain kepala
luka akibat benturan ada juga bekas luka benda tajam yang sudah mengering di
kepalanya. Beberapa luka lebam yang menghitam disekitar betisnya. Tuhan, ...Apa
yang dialami adikku selama aku tak ada disini belakangan ini?" Tangis
Akelis memeluk ibunya.
Maris tak henti-henti nya menangis dalam pelukan Akelis. Mereka hanya bisa berpelukan dan memandang gadis 12 tahun terbujur koma di dalam ruangan ICU. Hanya bisa memandang dari kaca diluar ruangan.
" Bangun
Aramis,kakak pulang ini. Kakak kembali untuk membawamu dan mama pergi. Ayo
bangun. "
"
Aramis.... bangun adiknya kakak yang paling kuat, bangunlah."
• Taman bermain
" Hai
pemalas,ayo bangun. Mau bermain layang-layang tidak dengan ku?"
Ku gosok
mataku, silau dengan sinar mentari, dan lalu , samar-samar nampak jelas anak
laki-laki sebaya ku berdiri menggenggam tali layang-layang dengan layang-layang
berbentuk kepala panda.
"Ayo bangun, jangan tidur terus. Ayo main bersama ku". "Dimana aku ini? Kok rasanya kepala ku sakit sekali?"
"Kamu
kebanyakan tidur, makanya sakit kepalamu. Sekarang...Kamu ada di taman bermain,
gak liat tuh, banyak anak-anak bermain disana." Ditunjukkan nya sekumpulan
anak-anak yang sedang bermain, ada yang bermain bola, ada yang bermain
kejar-kejaran,ada yang bermain layang-layang dan ada yang duduk-duduk menikmati
suasana taman.
Indah dan
tentram sekali rasanya taman ini. Aku tersenyum...gak pernah rasanya senyaman
dan setentram ini. "Ayo ...main layang-layang bersama kami."
Aku bangun dan
berdiri dan mulai mengejar anak itu dan layang-layang berbentuk kepala
panda....kami tertawa-tawa.riang. senang sekali rasanya.
"Aramis...
Aramis.... kembalilah...ayo bangun... kembalilah Aramis!!!"
Terdengar
sayup-sayup suara kak Akelis dan mama memanggil....dimana mereka, hanya
suaranya saja yang ku dengar....tapi aku masih mau main sebentar lagi... Masih
mau rasanya bebas dan tak takut terutama pada Gedong Merah dan penghuninya.
"Sabar...
sebentar lagi.... masih seru main disini!! Sahutku sambil mengejar
layang-layang yang dibawa lari anak laki-laki itu.
*Masa kini
2 Minggu sudah Aramis di ICU.
" Aku gak
perduli, yang aku mau adikku kubawa untuk dirawat di rumah sakit negeri
Eropa.biar dia dapat perawatan yang lebih baik dengan alat-alat yang lebih
canggih daripada disini. Jangan ada yang berani menghalangi aku, kalau masih
mau aku tetap di clan Astana.!' teriak
Akelis pada Baginda Opa dan Kolungga, papanya Mereka hanya bisa diam.
" Cukup sudah aku diam. Cukup sudah aku tutup mulut dan membiarkan dan mentolerir semuanya...aku bukan pengecut seperti papa." Teriak Akelis.
Hening....2 jam berlalu....
Tak berapa
lama....
Ambulance yang
membawa Aramis menuju negeri Eropa mulai meninggalkan perbatasan pulau
Kalamari.... suara sirine sayup-sayup terdengar yang lambat laun semakin jelas.
Jemari Aramis mulai bergerak....
"
Aramis... bangun...ayo kembali tidakkah kau lihat aku sudah kembali untuk
membawa mu dan mama pergi...ayo bangun. Tidak kah kau ingin lihat kincir angin
dinegeri Eropa.... Aramis... bangun.... ayo kembali untuk kakak dan mama."
• Taman Bermain
"Stop
dulu ya...aku seperti mendengar ada yang memanggil namaku. Sepertinya suara
mama dan kakakku."
"Ayo main
aja dulu.... nanti aja itu....kapan lagi kamu bisa main sepuasnya."
"Betul
juga kamu.....hahahaha.... hahahaha.... Dimana tidak ada rasa sakit di kaki
yang terus menerus kudapati dari Baginda Opa, dimana tidak ada rasa iri, tidak
ada rasa dengki, tidak ada rasa benci yang tak jelas alasannya, tidak perduli
kaya maupun, miskin,pendek, tinggi, hitam, putih, mata sipit atau mata belok,
hidung mancung ataupun pesek....
yang ada hanya
senyuman dan tawa riang.....ayo main lagi..."
"Aramis... Aramis... kembali...kakak sudah kembali... untuk membawa mu dan mama pergi ke negeri yang ada kincir anginnya. ayo Aramis.... kembali..."
"Hei
kawan sepertinya aku harus kembali, kakakku memangil tanpa henti.... sampai
jumpa lain
kali ya."
Aramis
melambaikan tangan pada kawan yang mengajaknya bermain layang-layang berlari
berlawanan arah menjauhinya.
Anak itu hanya mengangguk mengerti.
Beberapa waktu
kemudian " Aku dimana ini?"....
"
Akhirnya .....kau kembali...."
" Kita dalam perjalanan menuju
negeri kebebasan "
Cerpenfiksi#thedarksideofme#AlmairaEsmee