PLUMERIA DITEPI LAUT
_Nadita_
Kala ombak-ombak jernih berbuih pagi itu serasa
menawarkan pelukan hangat. Rayuan Ibunda Lautan memabukkan si Duyung, rambut
panjang sehitam arang dihiasi embun pagi, sebiji titik pada ujung matanya
tertutup tangan Ibunda, buih-buih cinta Ibunda menyelimuti si Duyung muda.
Duyung tetaplah Duyung yang gemar bermain bersama kawananya, seperti kicauan
burung camar yang mengiringi kesehariannya, seperti kerang-kerang yang
menghiasi si Duyung penuh cinta bagai kakak perempuan yang penuh kasih,
sedangkan pasir putih menjadi tempat singgahnya, dan Lautan menjadi rumahnya.
“LIR!”
Teriak si Duyung muda itu dari kejauhan. Seukir senyumku berikan padanya,
Duyungku itu keluar dari pelukan Ibundanya. Sekeping buih mengkilat berkah dari
Ibundanya jatuh dari tubuhnya, seakan memberi tanda cinta pada si Duyung.
“Sudah
berapa lama?” Dia menghampiriku yang bersandar pada sebuah pohon mangga
menjulang jauh ditepi lautan. Embun nakal masih menyelimuti dirinya, satu dua
buih turun tidak kuat akan pesonanya.
“Sudah dari tadi… bunga kesukaanmu.” Sela-sela surai dan indra dengarnya, ku sisipkan sebiji bunga Kamboja kuning-merah. Kamboja, kumohon jadilah seperti kerang-kerang yang menghiasinya layaknya kawan setia si Duyung. Dia tersenyum penuh malu. Ah.. rawan sikapmu penuh malu hari ini dan esok nanti menjadi ombak ganas samudra Hindia.
Dia selalu suka bunga-bunga itu menyertai jejaknya, katanya sebagai pengingat akan kenangan kita dan juga dirinya. Iya, kenangan yang sudah lama sekali memang, empat tahun yang lalu kala Ayahanda Pertiwi mempertemukan kita. Seuntai bunga kamboja ditangannya dan aku menggenggam sungkur dikiri serta ujuk di kanan. Dia menoleh tak sengaja mata kami bertaut seperti terikat benang merah muda, membisu bersama dijalan kenangan milik Ayahanda, jalan tak luas dan sederhana itulah menjadi puncak fana merah muda yang merusak logikaku.
“Kenapa?” Tanyanya penuh malu, lagi-lagi seakan menunjukan sifat yang berbeda biasanya selalu ganas karena terlalu sering bermain dengan ombak. Sungguh itu membuatku bagai bunga kamboja yang berada digengamanmu, berpasrah pada dirimu yang memetikku. Kamboja mengintip diujung sana menjadi saksi hari itu. Biarkan saja dia melihat, biar dia memberi tahu kawannya disana tentang kisah ini.
Mentari, tahan dulu kasihmu Rembulan, Duyungku belum usai tersenyum jangan juga biarkan senyumnya usai Ayahanda Pertiwi, anakmu tidak akan suka jika kasihnya memudar tawanya, biarkan permpuanku berdansa bersama Ibunda Lautan dengan tarian penuh cahayanya. Biarkan anakmu menghabiskan waktunya untuk kasihnya.
“Lir! Ayo kemari.”
Katanya penuh tawa, ditepi lautan dia bermain bersama ombak-ombak layaknya
kawan akrab. Memang benar tak salah, dia memang berkawan dengan ombak-ombak
seperti darah hidupnya adalah ombak itu sendiri.
“Ayo, hanyutkan
bunga-bunga ini.”
Tangannya dengan semangat menghanyutkan beberapa kamboja untuk dibawa arus
ombak. Tentu, dia selalu melakukan ini sebagai tanda terimakasihnya pada lautan
yang telah menemaninya bermain seharian.
Hanya anak dari Pertiwi
dan Lautan tak pantas mengharapkan abadi, hanya fana yang didapat walau separuh
jiwa tak rela. Bukan Pertiwi maupun Lautan yang mampu mencipta, hanya sosok
kecil yang ingin memberi curahan kasih untuk tebalan takdirnya, bagus-bagus
memberikan sisi yang baik-baik untuk Semesta. Usai sudah, kini harus kembali
menabung rindu. Kita akan bertemu
lagi Duyungku, mungkin.
Kamboja yang kau tabur,
kembali kepermukaan bersama hilangnya dirimu, mereka seperti memberi tahuku
bahwa dirimu sudah sepenuhnya menjadi satu dengan Ibundamu, dengan kawananmu,
dengan kerang-kerangmu, dengan ikan-ikan kesukaanmu. Ombak-ombak menjadi tempatmu
bersemayam, tempat kesukaanmu dan karang besar menjadi nisanmu, karang
kesukaanmu. Dirimu abadi didalam sana, apa kamu senang bisa bersatu dengan
lautanmu, Duyungku?
26
Desember 2004, Duyungku kau benar-benar menjadi ombak untuk kita, hilang
bersama Ibundanya tak tau dia menyelam seberapa dalam. Tak ada lagi yang
bersenandung menari bersama ombak, camar-camar pun sudah kehilangan penggemar
setia lagu-lagunya, kerang-kerang bingung harus merias siapa lagi, dan kamboja
masih tetap setia samapai akhir menemani indahmu, Duyungku.
“Aku
kembali bersama angin laut untuk bertemu dengamu namun aku lupa bahwa kamu
telah pergi bersama arusmu.”
Ikuti informasi seputar pendidikan melalui kanal berikut:
Instagram : smpn7 Mataram_
Facebook : Spenju Times
YouTube : SMPN 7 Mataram Official
TikTok : SMPN 7 Mataram_
Blogger : smp7mat.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar